Nixon Bernadus, 25 September 2012
Dewasa ini sangatlah sulit mencari
para pemimpin yang memiliki karakter sesuai dengan karakter dan budaya bangsa
Indonesia yang kita cintai ini. Banyak sekali pemimpin yang pintar dan cerdas
namun tidak mencerminkan karakter yang baik dan dapat ditiru oleh masayarakat,
seperti misalnya terjadi korupsi dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka. Bukan hanya itu bahkan dikalangan pendidikanpun
sudah hampir-hampir kehilangan karakter dan jati diri yang seharusnya
mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Banyak sekali terjadi kekerasan dalam
dunia pendidikan yang terjadi antara senior dengan juniornya, tawuran terus
terjadi dimana-mana. Indikasi ini menunjukkan bahwa bangsa kita sedang
mengalami krisis karakter.
Berkaiatan dengan permasalahan
diatas pendidikan sangat berperan penting dalam upaya untuk membentuk kembali
karakter bangsa. Maka perlunya suatu sistem pendidikan yang harus ditata
kembali mulai dari kurikulum sampai dengan pelaksanaan belajar di kelas dan
interaksi pendidikan lainnya baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun
masyarakat dengan berdasarkan pada nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
indonesia yang tervermin dalam Pancasila.
Dalam dunia pendidikanPendidikan
karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir
maupun batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan
lebih baik. Pendidikan merupakan proses yang berkleanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas
yang berkesinambungan (continuous quality
improvement), yang ditujukan pada terwujudnya sosok manusia masa depan, dan
berakar pada nilai-nilai budaya bangsa (Mulyasa, 2011).
Di Indonesia, pendidikan karakter
bangsa sebenarnya telah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal
ini termuat dalam pandangan Ki Hajar
Dewantara yang menjadi asas berdirinya Taman Siswa tahun 1922. Kemudian
tahun 1946 Taman Siswa memiliki Panca Darma, yaitu kemerdekaan, kodrat alam,
kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu Dewantara mengartikan
pendidikan sebagai proses pembudayaan kodrat alam setiap individu dengan
kemampuan mempertahankan hidup, yang tertuju pada tercapainya kemerdekaan lahir
batin sehingga memperoleh keselamatan, kemanan, kenyamanan dan kebahagiaan
lahir batin.
Hakikat Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki makna
yang lebih tinggi dari pada pendidikan moral. Karena pendidikan karakter tidak
hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan
kebiasaan (habit) tentang hal-hal
yang baik dalam kehidupan, sehingga anak/peserta didik memiliki kesdaran dan
pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2011). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pendidikan karakter merupakan sifat natural seseorang dalam merespons situasi
secara bermoral, yang diwijudkan dalam tindakan nyata sperti jujur, bertanggung
jawab, hormat terhadap orang lain dan perbuatan baik lainnya.
Menugutip pendapat Wynne dalam
Mulyasa bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana
menerapkan nilai-nilai kebiakan dalam tindakan nyata atau perilaku
sehari-sehari. Oleh karena itu jika seseorang berperilaku jujur, baik dan suka
menolong maka akan dikatakan sebagai orang yang berkarakter baik sedangkan yang
berperilaku tidak baik, tidak jujur dikatakan sebagai orang yang memiliki
karakter jelek.
Lickona
dalam Mulyasa menekankan bahwa pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu moral knowing
atau pengetahuan tentang moral, moral
feeling atau perasaan tentang moral dan moral
action atau tindakan moral. Moral
knowing berkaitan dengan moral
awareness, knowing moral values, perspective taking, decision making dan self-knowledge. Moral feeling berkaitan
dengan conscience, self-esteem, empathy,
loving the good, self –control dan humility;
sedangkan moral action merupakan
perpaduan dari moral knowing dan moral feeling yang diwiujudkan dalam bentuk kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebisaan (habit). Ketiga komponen tersebut perlu
diperhatikan dalam pendidikan karakter, agar peserta didik menyadari, memahami,
merasakan dan dapat mempraktikannya dalam kehidupan sehari-sehari nilai-nilai
kebajikan itu secara utuh dan menyeluruh.
Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter bertujuan unutk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang
mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu dan seimbang, sesuai dengan kompetensi lulusan pada setiap satuan
pendidikan. Melalui pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pegetahunannya, mengkaji dan
menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-sehari (Mulyasa, 2011).
Pendidikan karakter pada tingkat
satuan pendidikan mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai
yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-sehari, serta simbol-simbol
yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitarnya.
Implementasi
Pendidikan Karakter
Menurut Mulyasa (2011)
bahwa pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan
pembiasaan; melalui berbagai tugas
keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian apa yang didengar, dilihat, dirsakan
dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain itu
sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim budaya serta lingkungan yang
kondusif juga sangat penting, dan turut dalam membentuk karakter peserta didik.
Penciptan
lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalaui berbagai metode sperti:
penugasan, pembiasaan, pelatihan, pembelajaran, pengarahan dan keteladanan.
Metode-metode tersebut berpengaruh besar dalam pembentukan karakter peserta
didik. Pemberian tugas disertai dengan pemahaman dasar-dasar filosofisnya,
sehingga peserta didik akan mengerjakan tugas dengan kesadaran dan pemahaman,
kepedulian dan komitmen yang tinggi. Setiap kegiatan harus mengandung
unsur-unsur pendidikan.
Peran
Guru dalam Pendidikan Karakter
Guru
merupakan faktor penting dan sangat besar pengarunya terhadap keberhasilan
pendidikan karakter di sekolah, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya
peserta didik dalam mengembangkan pribadinya secara utuh. Hal ini karena guru
merupakan figur utama, serta contoh dan teladan bagi peserta didik. Oleh karena
itu dalam pendidikan karakter guru harus mulai dari dirinya sendiri agar apa
yang baik yang dilakukan guru berpengaruh pulah kepada peserta didik.
Pendidikan sulit untuk menghasilkan yang baik tanpa dimulai dari guru-guru yang
baik (Mulyasa, 2011).
Agar
implementasi pendidikan karakter berhasil, maka guru perlu melakukan hal-hal
berikut:
1.
Menggunakan metode pendidikan karakter
yang bervariasi,
2. Memberikan
tugas yang berbeda bagi peserta didik,
3.
Mengelompokkan peserta didik berdasarkan
kemampuannya, serta disesuaikan dengan mata pelajaran,
4. Memodifikasi
dan memperkaya bahan,
5. Menghubungi
spesialis, bila ada peserta didik yang mempunyai kelainan, dan penyimpangan
karakter,
6. Menggunakanan
prosedur yang bervariasi dalam membuat penilaian dan laporan pendidikan
karakter,
7. Memahami
bahwa karakter peserta didik tidak berkembang dalam kecepatan yang sama,
8. Mengembangkan
situasi belajar yang memungkinkan setiap peserta didik bekerja dengan
kemampuannya masing-masing pada proses pendidikan karakter, dan
9.
Mengusahakan keterlibatan peserta didik
dalam berbagai kegiatan karakter.
Dalam kaitannya dengan
motivasi, guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar peseta didik, antara
lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip pserta didik akan nekerja keras kalau
ia punya minat dan perhatian terhadap pekerjaannys, memberikan tugas yang jelas
dan dapat dimengerti, memberikan penghargaan terhadap hasil kerja prestasi
peserta didik, meggunakan hadiah, dan hukuman secara efektif dan tepat guna.
Agar guru dapat
mengembangkan pendidikan karakter secara efektif, serta dapat meningkatkan
kualitas pendidikan, khususnya dalam peningkatan peserta didik, guru harus
memiliki hal-hal berikut:
1.
Menguasai dan memahami pendidikan karakter
dan hubungannya dengan pembelajaran denga baik
2. Menyukai
pendidikan karakter
3.
Memahami peserta didik, pengalaman,
kemampuan, dan prestasinya
4. Menggunakan
metode pendidikan karakter yang bervariasi
5. Mengeliminasi
bahan-bahan yang kurang berkarakater dan kurang berarti
6. Mengikuti
perkembangan pendidikan karakter
7. Mempersiapkan
proses pendidikan karakter secara matang
8. Mendorong
peserta didiknya untuk memiliki karakter yang lebih baik, dan
9. Menguhubungkan
pengalaman yang lalu dengan karakter yang akan dibentuk.
Mulyasa (2011) menyatakan bahwa dalam
implementasi pendidikan karakter, kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu segi proses dan segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berhasil
apabila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, khususnya
mental, dan sosial dalam proses pendidikan karakter di sekolah. Di samping itu,
dapat dilihat dari segi gairah dan semangatnya dalam melaksanakan pendidikan
karakter di sekolah, serta adanya rasa percaya diri. Sementara itu, dari segi
hasil, guru dikatakan berhasil apabila pendidikan karakter yang dilaksanakan mampu mengadakan
perubahan karakter pada sebagian peserta didik ke arah yang lebih baik.
Salah satu hal yang perlu dipahami guru
untuk mengefektifkan pendidikan karakter di sekolah adalah bahwa semua manusia
(peserta didik) dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah terpuaskan,
dan mereka semua memiliki potensi untuk memenuhi rsa ingin tahunya. Tugas guru
yang paling utama dalam pendidikan karakter di sekolah adalah bagaimana
mengkondisikan lingkungan belajar yang berkarakter, menyenangkan agar dapat
membangkitan rasa ingin tahu peserta didik sehingga tumbuh minat dan karakter
baiknya. Sejalan dengan standar proses pendidikan, guru juga harus memberikan
ruang gerak yang lebih leluasa kepada peserta didik dalam mebentuk dan
mengembangkan pribadinya secara optimal, sesuai dengan pembawaannya
masing-masing. Dalam hal ini, guru hendaknya memposisikan diri sebagai
fasilitator, yang tugas utamanya memberikan kemudahan belajar kepada peserta
didik (to facilitate learning), tanpa
ada pemaksaan dan kekerasan terhadap peserta didik, sebab kekerasan hanya
membekaskan sesuatu yang kurang baik bagi pribadi peserta didik dalam
pembentuka karakter mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar